10 Cara Menjaga Keharmonisan Keluarga Menurut Islam
Source : Unsplash |
Kiky Style - Setiap
yang sudah maupun yang akan berumah tangga, pasti menginginkan bahwa nanti
hubungan rumah tangganya berjalan dengan harmonis dan menjadi Keluarga
Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Tidak hanya untuk 5 atau 10 tahun, tapi selamanya,
seumur hidup. Tak jarang, ada halang rintangan yang turut mempegaruhi dalam
hubungan Rumah Tangga. Orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan
kebaikan dan kebahagiaan serta keharmonisan dalam kehidupannya bersama istri
dan anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang
kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ
وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
(QS Ali ‘Imran:14).
Karena tujuan
pernikahan dalam islam untuk mencapai ridho ilahi agar selalu berada di
jalan yang lurus menuju surga-Nya. Lantas,
bagaimana Keluarga Bahagia Menurut Islam untuk menjaga agar
keharmonisan rumah tangga tetap terjaga? Berikut adalah beberapa Cara
Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga menurut agama Islam:
1. Perlakuan
Baik dan Ketaatan
Kewajiban
Suami terhadap Istri dalam Islam yaitu memperlakukan istri dengan baik,
bersikap lapang dada, serta sabar menghadapi istri sesuai dengan yang
dianjurkan dalam syariat. Dan juga tahu bagaimana Cara Membahagiakan Istri
Tercinta.
Bagaimana
cara memperlakukan istri dengan baik sesuai syariat agar semakin lekat
kecintaannya, tidak penuh ego dan semoga hubungan mesra tetap langgeng? Akan diulas
dibawah ini.
Pertama:
Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik).
Yang
dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak
menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria
di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS.
An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik
kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang
yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR.
Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kedua:
Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik.
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَ
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf”
(QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya
kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak,
termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah
dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan
dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang
mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 2: 375).
Dari
Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban
suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ –
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah”
(HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih).
Mencari
nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena
itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.
Sementara Kewajiban
Istri Terhadap Suami dalam Islam adalah mentaati perintah suami (selama
perintah itu dalam hal kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
(QS. An Nisa’: 34)
Ketaatan
seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ
زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina)
dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki
sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.”
(HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Berikut
adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama:
Mentaati perintah suami
Istri
yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami
benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata,
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ
قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami
pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231
dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih)
Begitu
pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya
terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al
Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan.
Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ
زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ
إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا
هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah
engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi
haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam
pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR.
Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh
Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun
ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk
tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima
waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini
tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak
ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara
yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan
Muslim no. 1840)
Dan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR.
Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua:
Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali
dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS.
Al Ahzab: 33).
Seorang
istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si
istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang
lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal
bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau
juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia
telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga:
Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika
seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya,
maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR.
Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam
riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى
عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى
عَنْهَا
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil
istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan
yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya
ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya
wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah
uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih
Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan,
maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat:
Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah
kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka
tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak
permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ
تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ
غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak
halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada
kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah
suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah
dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam
lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ
تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak
boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan
suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR.
Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Muslim)
Hadits
di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang
masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain
itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima:
Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para
fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk
melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah
halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam
lafazh lainnya disebutkan,
لاَ
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak
boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang
ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR.
Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat
ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho
suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
99)
Imam
Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas
dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al
Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud
larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di
bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan
dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin
suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin
suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa
(selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia
telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah
menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram
jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali
(artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa
‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin
suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
28: 99)
Jadi,
puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah
yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis), (2)
puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang
kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan
berikutnya.
Jika
Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan
pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka
istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah.
Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang
sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari,
9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak
mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’,
begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak
di tempat.
Hikmah
Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu
Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits
yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu
lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena
menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti
didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari,
9/296)
Imam
Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya
berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya.
Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau
melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7:
115)
2. Saling
Memahami
Latar
belakang maupun lingkungan tempat pasangan tumbuh mungkin berbeda dengan diri
sendiri. Sebagai istri/suami yang baik hendaknya dapat mengerti bahwa hal
tersebut tidaklah seharusnya memengaruhi dalam berperilaku atau interaksi dalam
rumah tangga, apalagi sampai memengaruhi dalam pengambilan keputusan untuk
suatu tindakan. Kewajiban dalam Rumah Tangga bagi suami/istri yaitu
saling memahami keadaan yang demikian demi mencapai keselarasan dalam berumah
tangga.
Berdasarkan
firman Allah, hendaklah antara suami dan isteri saling bekerjasama:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Tolong-menolonglah
kalian di atas kebaikan dan takwa”.
Juga
berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَاللَّهُ
فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah
akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya”.
[Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]
Juga
berdasarkan sabda Nabi:
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
خُلُقًا
“Orang
yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka.
Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian”.[Diriwayatkan
oleh Tirmidzi].
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tugas-tugas di rumah, seperti
menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di
rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan terdapat dalam
Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang
sakit, setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami
bisa meringankan beban isteri dengan memandikan anak atau menyuapi
anak-anaknya. Hal ini, disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan
ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.
3. Jujur
Satu Sama Lain
Dalam
kehidupan berumah tangga tidaklah luput dari yang namanya perbedaan pendapat
dan ketidaksinambungan dalam berbagai hal. Kunci Rumah Tangga bahagia yang
harmonis yaitu saling memahami satu sama lain dan harus bisa bersikap terbuka
dan jujur akan apa yang dipikirkan dan hendak dilakukan. Kejujuran merupakan
pondasi penting dalam membangun rasa kepercayaan satu sama lain.
Di
antara dalil yang menunjukkan buruknya sifat dusta dan mulianya sifat jujur
adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى
الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ
عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى
الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Kalian
wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan
(ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika
seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan
dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian
harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada
perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika
seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, maka akan
dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta)”.
[HR. Al-Bukhâri, no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637.]
Sulit
untuk memahami pasangan jika tidak ada rasa kepercayaan di antara keduanya.
Jika suami atau istri ada yang melakukan kesalahan, janganlah sungkan untuk
terlebih dahulu meminta maaf. Keberanian dalam mengakui kesalahan tentu akan
meningkatkan rasa percaya oleh pasangan.
4. Saling
Menghormati
Tiap
individu merasa perlu untuk dihormati dan dihargai, termasuk bagi pasangan
suami istri. Istri diwajibkan untuk taat dan mematuhi suami, dengan kata lain
ia juga harus menghormati suami selaku kepala keluarga. Begitu pula dengan
suami harus menghormati istri. Sehingga tercipta rasa saling menghargai satu
sama lain.
Memberikan
penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya,
seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan
keluarganya, tidak menegur isterinya di hadapan anak-anak mereka. Atau seorang
isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di
depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang
telah diseterika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.
Suami
hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara
seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia
justru sibuk dengan hand phone-nya mengirim sms atau sambil membaca koran. Dia
tidak serius mendengarkan ucapan isteri. Dan jika menanggapinya, hanya dengan
kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja
dipikirkan!”. Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya
dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan
berat.
5. Berusaha
Menyenangkan Pasangan
Menyenangkan
pasangan ada berbagai cara, termasuk saat istri berdandan cantik (yang memang
seharusnya dilakukan hanya untuk suami) dan memasakkan makanan kesukaan suami,
atau suami yang memuji masakan istri karena pada dasarnya manusia memang senang
ketika mendapat pujian maupun memberikannya hadiah.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
تَهَادَوْا
تَحَابُّوا
“Saling
memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai”
HR Bukhari dalam Adabul Mufrad dan lain-lain, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
Juga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi Bersama Aisyah. Aisyah
Radhiallahu ‘anha bercerita:
كُنْتُ
أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
“Aku
biasa mandi berdua bersama Rasulullah Shallallahu لlaihi wa Sallam dari satu
bejana”. [HR Bukhari].
Rasulullah
tidak pernah melewatkan sediktpun kesempatan kecuali beliau manfaatkan untuk
membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan.
Aisyah
Radhiallahu ‘Anha mengisahkan: “Pada suatu ketika aku ikut bersama
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu
aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau memerintahkan rombongan agar
bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau
berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya
dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau hanya diam saja atas
keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk,
aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau memerintahkan rombongan
agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau mengajakku berlomba kembali. Dan
akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah
penebus kekalahan yang lalu !” [HR Ahmad]
Maka,
saling memujilah satu sama lain namun agar bisa saling saling menyenangkan.
Terutama apabila memuji dilakukan dihadapan orang lain misalnya Keluarga atau
teman dengan menyebut kebaikan suami/istri. Memprioritaskan satu sama lain guna
menumbuhkan rasa sayang Cinta di antara pasangan.
6. Mencari
Solusi Bersama
Menikah
berarti membangun hidup bersama, saling berbagi satu sama lain, begitu juga
ketika ada masalah atau Konflik dalam Keluarga yang melanda harusnya
dibicarakan berdua agar menemukan solusi bersama. Suami atau istri adalah partner dalam
berbagai hal.
Ketika
suami istri bersiteru misalnya, merek bisa mengambil pelajaran dari kasus dan
peristiwa perceraian orang lain, mempelajari berbagai sebab dan faktor yang
mengakibatkan percekcokan sampai terjadi perceraian, sebab orang yang
berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari peristiwa orang lain, dan
orang yang celaka adalah orang mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa
diri sendiri. Juga, suami istri mesti bisa bersikap lapang dada untuk menerima
kekurangan dan kelemahan masing-masing serta berusaha menumbuhkan rasa kasih
sayang dan sikap pemaaf. Dan semua pihak yang dimintai maaf hendaklah segera
memberikan maaf, agar hati kembali bercahaya dan bersih dari perasaan jengkel,
kesal dan dengki.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ في الجَنَّةِ؟ قُلْنَا بَلى يَا رَسُوْلَ الله، قَالَ وَدُوْدٌ
وَلُوْدٌ غضبت أَوْ أسي إِلَيْها أَوْ غَضَبَ زَوْجُها قَالَتْ هذه يَدِي في يَدِكَ
لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حتى تَرْضَى
“Maukah
aku khabarkan kepada kalian tentang isteri kalian yang berada di surga? Kami
berkata,”Ya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Dia adalah wanita yang sangat
mencintai lagi pandai punya anak, bila sedang marah atau sedang kecewa atau
suaminya sedang marah maka ia berkata: Inilah tanganku aku letakkan di tanganmu
dan aku tidak akan memejamkan mata sebelum engkau ridha kepadaku.”
[HR At Thabrani].
Keyakinan
seseorang bahwa dia selalu berada di pihak yang benar sehingga tidak berusaha
mencari kekurangan dan kesalahannya, serta selalu marah melihat kekurangan yang
lain dan tidak mau menerima nasehat dan pengarahan orang lain, selalu berusaha
membela diri atau menyerang pihak lain, maka demikian itu membuka pintu
percekcokan dan pertengkaran serta enggan berdamai. Dengan demikian, hindari
hal yang seperti tersebut. Bahkan jika hanya masalah kecil saja, tidak ada
salahnya untuk meminta pendapat pada pasangan untuk menemukan penyelesaian.
Dengan begitu, hubungan antar suami istri akan semakin erat.
7. Qana’ah
Yang
namanya hidup berumah tangga, artinya harus berusaha mandiri demi mencukupi
kebutuhan bersama-sama. Jangan membandingkan dengan keadaan ketika sebelum
menikah yang apa-apanya saja bisa didapatkan dari orang tua atau oleh
pendapatan sendiri.
Allah
‘Azza wa Jalla akan mencukupkan rizki seseorang, manakala ia bersyukur
dengan apa yang ia peroleh dan ia usahakan. Dia akan merasa puas (qana’ah)
dengan apa yang dikaruniakan kepadanya.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ.
“Barangsiapa
yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan jaga dirinya dan barangsiapa
yang merasa cukup, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada dirinya.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1427) dan Muslim (no. 1034).
Lihat Fat-hul Baari (III/294), dari Shahabat Hakim bin Hizam radhiyallaahu
‘anhu.]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji orang-orang yang qana’ah (merasa
puas) dengan apa yang Allah Ta’ala karuniakan, beliau bersabda:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
“Sungguh
beruntung orang yang masuk Islam, rizkinya cukup, dan Allah memberikan kepuasan
terhadap apa yang telah dikaruniakannya.” [Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1054), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr
bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma.]
Bersyukur
terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah atas rezeki yang diterima akan
membuat kehidupan berumah tangga terasa lebih berkah.
8. Memanggil
dengan Panggilan Sayang
Berpedoman
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika suatu hari beliau
memanggil Aisyah radhiyallahu ‘anhu dengan sebutan Humaira, yang artinya
Merah Delima. Dan bercerita sebagai berikut, pada suatu hari Rasulullah berkata
kepadanya.
يَا
عَائِشُ, هَذَا جِبْرِيْلُ يُقْرِئُكِ السَّلاَمَ
“Wahai
‘Aisy (panggilan kesayangan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha), Malaikat Jibril tadi
menyampaikan salam buatmu.”
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
دَخَلَ
الحَبَشَةُ المسْجِدَ يَلْعَبُوْنَ فَقَالَ لِي يَا حُمَيْرَاء أَتُحِبِّيْنَ أَنْ
تَنْظُرِي
“Orang-orang
Habasyah (Ethiopia) pernah masuk ke dalam masjid untuk bermain, lantas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku, “Wahai Humaira (artinya: yang
pipinya kemerah-merahan), apakah engkau ingin melihat mereka?”
(HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 307).
Itulah
salah satu contoh cara menciptakan suasana harmonis dalam rumah tangga yaitu
memanggil istri dengan panggilan kesayangan. Tiada salahnya jika suami juga
memberikan panggilang kesayangan pada istri seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Istri pun juga bisa melakukan hal yang
sama terhadap suami. Karenanya, pilihlah panggilan yang memang benar-benar baik
dan pasangan juga menyukainya.
9. Toleransi,
Solidaritas dan Kepedulian
Tidak
benar untuk menuntut kesempurnaan dari suami maupun istri karena pada dasarnya
manusia tidaklah ada yang sempurna (kesempurnaan hanya milik Allah subhanallahu
wa ta’ala). Hendaklah mereka juga memelihara keluarga mereka dari api neraka.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS.
At- Tahrim: 6)
Adh-Dhahak
dan Maqatil mengenai ayat di atas,
حَقُّ
عَلَى المسْلِمِ أَنْ يُعَلِّمَ أَهْلَهُ، مِنْ قُرَابَتِهِ وَإِمَائِهِ
وَعَبِيْدِهِ، مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيْهِمْ، وَمَا نَهَاهُمُ اللهُ عَنْهُ
“Menjadi
kewajiban seorang muslim untuk mengajari keluarganya, termasuk kerabat, sampai
pada hamba sahaya laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib
yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.”
(HR. Ath-Thabari, dengan sanad shahih dari jalur Said bin Abi ‘Urubah, dari
Qatadah. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 321)
Kepala
rumah tangga yang baik mengajak anaknya untuk shalat sebagai bentuk kepedulian sebagaimana
yang suri tauladan kita perintahkan,
مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ
“Perhatikanlah
anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika
mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka.” (HR.
Abu Daud, no. 495; Ahmad, 2: 180. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Rumah
tangga akan berbahagia, jika istri itu taat pada suami. Karena istri seperti
inilah yang akan menyenangkan hati suami,
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ
قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami
pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai, no.
3231; Ahmad, 2: 251. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Baik
suami maupun istri pasti tidak luput dari yang namanya berbuat kesalahan. Oleh
sebab itu, penting untuk memiliki rasa toleransi demi menghindari kekeliuran
apalagi kekerasan. Bila masing-masing tidak ada yang mau mengalah, maka yang
terjadi hanyalah rasa dendam dan rumah tangga pun jadi berantakan. Cara
Menghilangkan Dendam dalam Islam yaitu dengan cara saling menguatkan satu
sama lain merupakan bentuk nyata dari rasa peduli. Berusaha untuk selalu bisa
berdiri disamping pasangan ketika ada permasalahan yang menimpa akan
menumbuhkan rasa kepercayaan yang lebih dalam terhadap pasangan.
10. Sakralitas
Rumah Tangga
yang
dimaksud sakralitas di sini adalah di mana dalam berumah tangga segala
sesuatunya harus didasari atas ketaatan terhadap syariat Allah subhanallahu wa
ta’ala. Membangun rumah tangga jika hanya dipandang dari segi materi tentu
akan terasa berat. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji
hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini
kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
“Dan
(mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami),
dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”
(QS al-Furqan:74).
Imam
Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah
akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan
orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah
tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari
pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya
taat kepada Allah Ta’ala“
Karena
itu, ingatlah bahwa tujuan Membangun Rumah Tangga Dalam Islam adalah
untuk mendapat kebaikan dengan berkah dari Allah subhanallahu wa ta’ala.
Dengan begitu, masalah apapun yang dihadapi dalam lingkup rumah tangga insya
Allah bisa dihadapi.
Sumber
Referensi : https://muslim.or.id
https://muslimah.or.id
https://almanhaj.or.id
https://rumaysho.com
https://dalamislam.com
https://muslimah.or.id
https://almanhaj.or.id
https://rumaysho.com
https://dalamislam.com
Ya Robb...
BalasHapusx-) (k) adem mbacanya...
Dengan 10 Tips yg telah dirangkum tersebut di atas, dan dilaksanakan dengan baik, insyaAllah keluarga kita senantiasa harmonis....
Aamiin...
Aamiin yaa rabbal 'alamin.
HapusSemoga bermanfaat.